Inggris, United Kingdom
Awal tahun 80-an
Football casuals adalah para pendukung sepak bola yang membedakan diri dari fans biasa lewat gaya berpakaian mereka. Kalau kebanyakan orang keluarin outfit paling mahal buat kencan atau pesta pernikahan, buat casuals itu beda cerita. Di hari pertandingan, mereka justru ninggalin warna klub di rumah dan datang ke stadion dengan gaya.
Dan “dengan gaya” maksudnya serius: satu set outfit dari brand-brand casual tertentu. Mulai dari sepatu Adidas, jaket C.P. Company, sampai syal Burberry—semuanya dipilih dengan detail.
Stone Island adalah salah satu brand paling dikenal di dunia football casuals. Label asal Italia ini udah populer sejak awal di kalangan pendukung sepak bola di seluruh Eropa—dan gampang dikenali lewat patch kompas khas di lengan kiri.
Di subkultur casuals, Stone Island punya peran besar berkat desainnya yang berani dan kualitas teknis yang solid. Jaket adalah item yang paling sering dipakai, tapi polo, celana, dan hoodie juga sering jadi bagian dari outfit matchday.
Brand ini sering dipilih karena identitas visualnya yang kuat, kaitannya dengan budaya stadion, dan sejarah panjangnya di tribun dan di jalanan.
Buat banyak casuals, pakai Stone Island itu bukan cuma soal style—itu udah jadi bagian dari gimana lo dukung tim lo.
C.P. Company mungkin nggak se-mainstream Stone Island, tapi punya reputasi kuat di kalangan football casuals—sering dianggap sebagai brand buat mereka yang lebih “dalam” di budaya ini. Salah satu ciri khas paling ikonik dari C.P. Company adalah kacamata goggles bawaan di bajunya.
Biasanya ditempatkan di bagian hoodie, desain ini terinspirasi dari seragam militer dan baju kerja fungsional. Tujuannya bukan cuma buat gaya, tapi juga praktis—hoodie dengan goggles bisa dipakai seperti balaclava, bikin pemakainya tetap anonim kalau perlu.
Seiring waktu, konsep ini makin dikembangkan. Sekarang lo juga bisa nemuin goggles di bagian lain, kayak di lengan pullover.
Buat banyak casuals, C.P. Company itu kombinasi sempurna antara fungsi, branding yang lowkey, dan koneksi kuat ke budaya tribun stadion.
Natural Casual bukan cuma soal pakaian—ini dibuat khusus buat di tribun. Lahir dari budaya sepak bola, brand ini bicara ke para supporter yang nilai loyalitas, identitas, dan gaya yang nggak lebay.
Setiap desain cuma diproduksi 100 pcs. Udah habis? Nggak bakal diproduksi lagi.
Nggak ada logo gede, nggak ada gimmick aneh. Cuma baju casual yang jujur, simpel, dan pas banget buat hari pertandingan (dan hari-hari biasa juga).
Nggak semua orang bakal suka.
Dan emang itu tujuannya.
Paling populer dari Natural Casual
Lyle & Scott udah lama jadi nama familiar di kalangan football casuals. Belakangan ini, brand ini makin naik daun lagi—terutama di kalangan supporter muda. Desainnya yang clean dan harganya yang masih masuk akal bikin Lyle & Scott jadi pilihan populer buat mereka yang baru masuk ke dunia casuals.
Dibanding brand-brand mahal, Lyle & Scott kasih look yang mirip tanpa harus nguras dompet. Cocok banget buat yang peduli gaya tapi punya budget terbatas. Tapi bukan berarti ini cuma buat anak baru—banyak juga dari generasi lama yang masih respect Lyle & Scott karena warisannya, kesederhanaannya, dan koneksinya dengan budaya tribun.
Brand ini jadi jembatan antar generasi—tetap relevan tanpa kehilangan tempatnya di scene casuals.
Fred Perry adalah salah satu klasik sejati di dunia football casuals. Nggak kayak Stone Island atau C.P. Company yang dari Italia, Fred Perry justru 100% British—dan itu bikin brand ini punya tempat spesial di budaya tribun Inggris.
Fred Perry punya akar yang kuat di subkultur Inggris, dan udah lama jadi favorit para supporter bola di seluruh negeri. Item yang paling ikonik? Tanpa ragu: polo shirt-nya. Sering dipakai di hari pertandingan dan langsung dikenali lewat logo daun salam khasnya.
Brand ini nyatuin kesederhanaan dengan warisan budaya, jadi pilihan wajib buat casuals yang suka gaya klasik dan nggak norak.
Tren bisa berubah-ubah, tapi Fred Perry tetap kokoh di lemari casuals sejati.
Weekend Offender adalah brand yang sangat lekat dengan gaya hidup supporter sepak bola—dan hampir selalu dipakai sama fans sejati. Nama brand-nya sendiri diambil dari istilah “weekend offender,” yaitu orang yang hidup buat hari pertandingan: berangkat ke stadion, dukung klub kesayangan, terus lanjut nongkrong di pub bareng teman.
Istilah ini awalnya muncul dari Wales, tapi sekarang bajunya udah tersebar ke stadion dan pusat kota di seluruh Eropa. Weekend Offender dikenal dengan desain yang fungsional, sikap yang berani, dan vibe tribun yang terasa natural—nggak dipaksain.
Buat banyak football casuals, Weekend Offender itu pilihan yang simpel, jujur, dan pas banget sama ritme hidup matchday.
The North Face sekarang jadi salah satu brand paling populer di kalangan football casuals. Naiknya brand ini di scene mulai pas beberapa kelompok hooligan mulai tampil full hitam dari ujung kepala sampai kaki.
Idenya simpel tapi kuat—satu grup pakai jaket hitam yang sama, bikin kesan solid dan mengintimidasi.
Dibanding pakaian yang mencolok atau penuh warna, look serba hitam terasa lebih terorganisir, lebih serius, dan lebih “berkuasa.” Jaket dari The North Face—yang dikenal tahan banting dan desainnya clean—pas banget buat image itu.
Walaupun awalnya nggak ada hubungannya dengan budaya bola, sekarang brand ini udah jadi bagian dari scene, terutama buat casuals yang suka tampil kalem tapi tetap kompak di hari pertandingan.
Adidas ada di posisi nomor delapan dalam daftar brand football casual paling populer—dan itu sepenuhnya karena sepatu legendarisnya. Kita nggak ngomongin tracksuit di sini, tapi siluet klasik yang udah jadi bagian dari budaya tribun sejak hari pertama.
Model kayak Gazelle, Samba, dan Spezial udah dipakai supporter bola selama puluhan tahun, dan masih sering kelihatan di hari pertandingan di seluruh Eropa. Sepatu-sepatu ini simpel, timeless, dan langsung dikenali dari jauh.
Nyaman dipakai seharian, tapi tetap stylish—pas banget buat gaya hidup supporter yang selalu gerak terus.
Masuk stadion tanpa lihat minimal beberapa pasang? Nggak mungkin.
Buat banyak casuals, Adidas di kaki itu sepenting jaket di badan.
Ellesse adalah nama klasik dalam budaya casual Inggris, dan udah lama nyambung sama dunia sepak bola. Dulu, brand ini dikenal banget lewat tracksuit-nya—setelan sporty dan mencolok yang sering banget dipakai supporter di hari pertandingan.
Tracksuit itu jadi bagian dari identitas casual, terutama di era 80-an dan 90-an. Sekarang, fokusnya lebih ke jaket dan T-shirt, tapi vibe retro-nya masih terasa kuat.
Meskipun Ellesse belum sepenuhnya nge-dominasi scene casual di seluruh Eropa, brand ini tetap populer di negara kayak Belgia dan Jerman, di mana sering keliatan di sekitar stadion.
Koneksi Ellesse dengan gaya tribun klasik bikin brand ini tetap relevan, terutama buat supporter yang suka heritage dan nuansa nostalgia di outfit mereka.
Napapijri jelas jadi salah satu nama paling gampang dikenali di dunia football casuals—meskipun juga salah satu yang paling ribet buat diucapin. Brand ini paling dikenal lewat jaketnya, terutama anorak ikonik dengan bendera Norwegia besar di bagian depan.
Tapi meskipun logonya kayak gitu, Napapijri sama sekali bukan brand Norwegia. Sama kayak banyak item klasik lain di budaya casual, brand ini sebenarnya berasal dari Italia.
Gabungan antara branding yang berani, jaket yang fungsional, dan kehadiran kuat di streetwear bikin Napapijri jadi favorit banyak supporter bola. Jaketnya sering dipakai karena praktis buat hari pertandingan yang dingin, tapi juga karena pas banget dengan gaya khas tribun stadion.
Lacoste, sama kayak Ellesse, adalah brand yang kuat banget kaitannya sama era keemasan football casuals di tahun 70-an dan 80-an. Meskipun asalnya bukan dari budaya bola, polo-polo tajam, desain minimalis, dan logo buaya ikonik bikin brand ini cepat banget jadi andalan di tribun stadion.
Dulu, pakai polo Lacoste bukan cuma soal gaya—itu tanda kalau lo “bagian dari dalam.”
Brand ini kasih tampilan yang lebih bersih dan classy, beda dari gaya yang lebih mencolok. Cocok buat casuals yang suka simbol status yang nggak norak.
Sampai sekarang, Lacoste masih sering kelihatan di hari pertandingan. Polo klasiknya tetap jadi favorit, dan desainnya yang timeless bikin brand ini tetap solid di tengah budaya casuals.
Burberry mungkin bisa dibilang brand yang paling khas di dunia casuals. Koneksinya dengan budaya sepak bola—terutama di Inggris—udah nggak bisa dipisahin lagi. Motif kotak khas Burberry, entah itu di syal atau topi, udah lama jadi bagian dari “seragam” banyak casuals Inggris.
Di Inggris, hampir nggak mungkin ada satu firm atau kelompok supporter tanpa minimal satu orang yang punya item dari Burberry. Tapi meskipun brand ini gede banget di UK, Burberry belum sepopuler itu di seluruh Eropa.
Di luar Inggris, biasanya yang pakai adalah casuals garis keras—mereka yang benar-benar ngerti akar budaya tribun, dan sengaja pilih brand dengan sejarah yang dalam.
Buat mereka, Burberry bukan soal fashion. Ini soal identitas.
Ma Strum adalah nama yang relatif baru di dunia football casuals, apalagi kalau dibandingin sama brand klasik tribun. Didirikan tahun 2008, label sportswear asal Inggris ini cepet banget naik daun—terutama lewat jaket teknisnya yang cocok banget buat gaya casual modern.
Meskipun belum punya warisan panjang kayak Stone Island atau Fred Perry, Ma Strum berhasil ngumpulin banyak fans berkat desain yang tajam dan detail fungsionalnya.
Brand ini fokus banget ke inovasi, dengan outerwear yang nge-blend pengaruh militer dan bahan performa tinggi.
Sekarang, jaket Ma Strum udah sering kelihatan di hari pertandingan, khususnya di kalangan supporter muda yang lebih suka gaya casual versi kekinian.
Bukan brand heritage, tapi udah jelas punya tempat yang solid di tribun.
Aquascutum adalah brand pakaian mewah asal Inggris yang punya akar kuat di dunia menswear klasik. Sekarang memang dimiliki investor dari Tiongkok, tapi warisannya tetap terasa British banget.
Di kalangan football casuals, Aquascutum paling dikenal lewat syal khasnya—dengan motif kotak ikonik yang langsung dikenali. Desain ini jadi simbol status yang kalem, pas buat supporter yang lebih suka gaya halus tapi tetap menunjukkan kelas.
Walaupun brand ini terkesan lebih formal dibanding brand casuals lainnya, beberapa item—terutama jaket dan aksesori—tetap punya tempat spesial di tribun.
Aquascutum mewakili sisi casual culture yang lebih elegan, sering dipakai sama mereka yang suka gaya klasik dengan sentuhan tajam.
Fila adalah salah satu brand klasik sejati di dunia football casuals, dengan akar di kota Biella, Italia. Sebelum masuk ke dunia sportswear di tahun 70-an, Fila awalnya cuma dikenal sebagai produsen pakaian dalam—dan nggak ada hubungannya sama sepak bola.
Tapi semuanya berubah cepat begitu mereka mulai rilis tracksuit warna-warni yang langsung menarik perhatian fans bola di Inggris dan Eropa.
Waktu gerakan casual mulai naik, tracksuit dari Fila dibeli dalam jumlah besar dan jadi bagian ikonik dari gaya tribun.
Sekarang, brand ini mungkin udah nggak sekuat dulu, tapi Fila tetap punya nilai nostalgia yang besar—terutama di kalangan casuals generasi lama.
Buat mereka, Fila adalah bagian dari identitas awal subkultur ini.
Paul & Shark adalah brand pakaian asal Italia yang lahir tahun 1975. Dulu, brand ini dianggap salah satu klasik sejati di kalangan football casuals—terutama di era 80-an dan 90-an, di mana kehadirannya di tribun sangat kuat.
Dikenal dengan gaya yang terinspirasi dari dunia laut dan rajutan berkualitas tinggi, Paul & Shark kasih sentuhan yang lebih rapi dan dewasa di scene casuals.
Waktu itu, jumper dan jaket dari brand ini sering banget kelihatan di stadion—biasanya dipakai oleh casuals yang lebih tua atau yang suka gaya kalem dan elegan.
Sekarang, brand ini jauh lebih jarang kelihatan di tribun, dan banyak yang bilang itu sayang banget.
Walaupun tren udah bergeser, Paul & Shark masih punya tempat di hati supporter yang menghargai tradisi dan nggak lupa akar sejarah gaya tribun.
Levi’s sekarang udah jadi brand mainstream yang dikenal semua orang—tapi gampang banget lupa kalau dulu brand ini punya peran penting di awal budaya football casuals. Waktu scene ini mulai naik, jeans Levi’s sering banget jadi bagian dari outfit tribun.
Tampilannya yang clean, kualitas yang bisa diandalkan, dan branding yang simpel bikin jeans Levi’s cocok banget dipaduin sama jaket mencolok dan sneakers dari brand mahal.
Cukup dengan label merah kecil dan patch kulit di belakang, gaya lo udah kelihatan—nggak perlu teriak perhatian.
Meskipun sekarang Levi’s udah jauh lebih besar dari subkultur ini, brand ini tetap punya tempat di sejarah gaya casuals—terutama buat mereka yang inget betapa pentingnya jeans yang “tepat” di hari pertandingan.
Sesuai namanya, Hackett London adalah brand yang punya akar di ibu kota Inggris. Didirikan tahun 1983, brand ini dikenal karena gaya menswear klasik dengan sentuhan yang rapi dan elegan.
Meskipun Hackett nggak se-dekat itu dengan budaya football casuals dibanding brand streetwear lainnya, desainnya yang bersih dan nuansa British banget bikin brand ini tetap punya tempat—meskipun tenang—di kalangan supporter.
Brand ini paling cocok buat casuals yang suka tampil lebih “smart.” Bayangin polo shirt yang fit, syal wol, dan jaket yang potongannya rapi.
Mungkin bukan nama pertama yang lo pikirin kalau ngomongin tribun, tapi buat yang suka mix gaya klasik dan budaya bola, Hackett London pas banget.
Fjällräven adalah satu-satunya brand di daftar ini yang berasal dari Swedia, tepatnya dari kota kecil Örnsjöldsvik. Dikelilingi oleh air, hutan, dan pegunungan, nggak heran kalau brand ini fokus ke pakaian outdoor yang tahan banting.
Awalnya bukan dibuat buat budaya sepak bola, tapi Fjällräven tetap nemuin tempatnya di dunia casuals—terutama di kalangan supporter yang peduli fungsi sama besarnya kayak gaya. Jaket-jaketnya cocok banget buat akhir pekan yang dingin dan hujan, atau buat duduk lama di stadion yang nggak beratap.
Desainnya simpel, warnanya kalem, dan bahannya kuat—praktis banget tanpa terlalu keluar dari vibe casuals.
Mungkin bukan outfit tribun tradisional, tapi buat banyak orang, Fjällräven justru jadi pilihan pas saat kenyamanan dan ketahanan cuaca sama pentingnya dengan penampilan.
Henri Lloyd lahir di Manchester dan awalnya dibuat sebagai brand pelayaran, dikenal karena bahan teknis dan pakaian tahan cuaca. Tapi meskipun akarnya nautikal, nggak butuh waktu lama sebelum para supporter bola—khususnya di Inggris—mulai merangkul brand ini.
Buat mereka yang suka outerwear yang clean, praktis, dan punya feel premium, Henri Lloyd jadi pilihan yang pas. Lama-lama, brand ini jadi nama yang familiar di dunia casuals, terutama lewat jaket dan knitwear yang nyatu banget dengan gaya tribun.
Sekarang brand ini dimiliki investor dari Swedia, tapi hubungannya dengan budaya sepak bola Inggris tetap kuat.
Meskipun nggak se-dominan dulu, Henri Lloyd masih dihargai sama casuals yang peduli sama heritage dan pakaian yang memang dirancang buat fungsi.
Football casuals adalah subkultur unik yang muncul di Inggris pada tahun 1970-an dan 80-an. Semuanya dimulai saat hooligan dari klub-klub seperti Liverpool, Manchester United, West Ham United, Nottingham Forest, dan Everton pergi ke Eropa untuk pertandingan tandang. Setelah terjadi kerusuhan atau bentrokan, mereka kembali ke Inggris dengan mengenakan pakaian desainer mahal dari Italia dan Prancis—kadang dibeli, kadang dicuri. Inilah awal dari apa yang sekarang dikenal sebagai gaya “football casuals”.
Saat polisi waktu itu hanya mencari fans yang ribut dan mengenakan warna klub, para casuals punya trik cerdas. Mereka pakai pakaian mahal tanpa logo mencolok, jadi terlihat seperti anak muda kaya biasa. Dengan begitu, mereka lebih mudah menyelinap lewat kerumunan dan lolos dari pengawasan polisi.
Asal mula gaya casual
Awalnya, orang-orang nggak terlalu memperhatikan para supporter yang mengenakan jaket desainer seperti Sergio Tacchini atau Fila. Polisi lebih fokus ke skinhead yang pakai bomber jacket dan sepatu Dr. Martens—bukan seseorang yang pakai coat Burberry atau polo Lacoste. Tapi apa yang awalnya cuma strategi buat nggak ketahuan, lama-lama jadi gerakan fashion penuh.
Masuk tahun 1980-an, budaya casuals makin berkembang. Gaya ini bukan lagi sekadar cara buat sembunyi, tapi jadi identitas. Anak-anak muda mulai berlomba siapa yang paling eksklusif dan mahal bajunya. Nggak cuma soal bola, tapi juga soal status, gaya, dan pengakuan.
Waktu acid house dan rave culture naik di akhir 80-an, sisi kekerasan dari casuals mulai memudar. Subkultur ini mulai lebih condong ke musik, fashion, dan lifestyle. Tapi koneksinya dengan sepak bola tetap kuat.
Gaya berpakaian para hooligan bola
Tahun 90-an, budaya casuals bangkit lagi. Supporter mulai pakai pakaian bermerek sebagai semacam “seragam”. Itu jadi penanda bahwa lo adalah fans sejati—bukan sekadar penonton biasa dengan syal dan jersey.
Beberapa brand paling populer saat itu (dan masih populer sekarang):
Stone Island Dikenal dengan patch kompas di lengan. Mahal, keren, dan punya citra tangguh.
C.P. Company Terkenal karena jaket dengan goggles di hoodienya—fungsional dan mudah dikenali.
Burberry & Aquascutum Klasik Inggris dengan tampilan rapi dan kesan kelas atas.
Fred Perry & Lyle & Scott Polo dan sweater yang dipakai baik di dalam maupun luar stadion.
Lacoste, Tommy Hilfiger & Paul & Shark Casualwear premium yang kasih kualitas dan gengsi.
Pakaian palsu sangat dilarang dalam scene ini. Seorang casual sejati bisa tahu mana yang asli dan mana yang palsu hanya dengan sekali lihat.
Perkembangan brand casual
Masuk awal 2000-an, scene casual mulai berubah lagi. Gaya “standar” udah jadi terlalu mainstream. Bahkan orang yang nggak pernah masuk stadion pun pakai Stone Island dan Lacoste. Para casual sejati mulai cari sesuatu yang lebih eksklusif.
Brand seperti The North Face mulai populer. Jaket hitam ber-hoodie bikin fans tetap anonim—berguna di era CCTV dan pengawasan ketat. Brand seperti MA.STRUM, adidas Spezial, dan nama Skandinavia seperti Norse Projects juga mulai masuk ke lemari casuals.
Salah satu momen mencolok: beberapa supporter mulai melepas patch kompas dari jaket Stone Island mereka. Bukan karena malu, tapi karena logonya udah terlalu umum di luar kalangan casual.
Kontroversi logo kompas
Patch kompas khas Stone Island juga sempat bikin kontroversi. Beberapa unit polisi bilang bentuknya mirip salib Celtic—simbol yang dipakai kelompok neo-Nazi. Karena itu, brand ini sempat kehilangan pamor di beberapa kalangan. Tapi Stone Island tetap bertahan dan masih jadi salah satu brand casual paling dihormati di Eropa.
Football casuals di Inggris
Di Inggris, budaya casual masih hidup dan kuat. Selama lebih dari 40 tahun, gaya ini terus jadi bagian dari pengalaman hari pertandingan. Apa yang dulu dimulai sebagai cara buat menghindari polisi, sekarang udah jadi gerakan fashion yang bahkan memengaruhi desainer high-end.
Ciri khas football casuals di Inggris:
Cinta sepak bola Kecintaan terhadap klub tetap jadi inti. Tandang atau kandang, casuals selalu hadir.
Sadar gaya Casuals ikuti tren fashion—tapi dengan cara mereka sendiri.
Rasa kebersamaan Subkultur ini tentang persaudaraan, identitas, dan kode tak tertulis.
Pengaruh generasi Dulu anak muda, sekarang banyak ayah dan anak pakai gaya yang sama di hari pertandingan.
Football casuals hari ini
Di tahun 2025, subkultur ini masih sangat hidup. Platform seperti Instagram dan TikTok berperan besar dalam menyebarkan gaya ini—tapi juga bikin gayanya jadi gampang ditiru. Karena itu, casuals sejati terus cari brand baru yang belum banyak dikenal atau barang vintage langka buat tetap otentik.
Generasi baru juga lebih sadar lingkungan. Alternatif berkelanjutan terhadap fast fashion mulai naik daun di kalangan casuals. Tapi yang paling penting tetap sama: bukan soal brand-nya, tapi cara lo memakainya.
Kenapa gaya football casuals tetap populer?
Punya aura percaya diri dan toughness
Menunjukkan bahwa lo “paham”, tanpa perlu ngomong
Ungkapan identitas yang jelas tapi halus
Gabungan kenyamanan dan gaya—pas buat hari pertandingan yang panjang
Casuals dan media sosial
Di Instagram, ada ribuan akun yang didedikasikan buat fashion casuals. Dari selfie di kaca sampai flat lay outfit, semua terdokumentasi dengan rapi. Sisi negatifnya? Gaya ini jadi lebih mudah ditiru orang luar. Karena itu, casuals sejati terus berinovasi dan cari “permata tersembunyi” yang baru.
Football casuals: lebih dari sekadar fashion
Intinya, budaya casuals itu lebih dari pakaian. Ini tentang loyalitas, ekspresi diri, kebersamaan, dan semangat. Entah lo dukung Celtic, Ajax, AS Roma, atau Millwall—nilainya sering kali sama.
Masa depan football casuals
Tren bisa datang dan pergi, tapi football casuals tetap bertahan. Selama sepak bola ada, akan selalu ada supporter yang ingin tampil beda. Yang melihat pakaian bukan sekadar kebutuhan, tapi simbol kehormatan.
Football casuals bukan cuma fans sepak bola yang stylish. Mereka adalah komunitas dengan kode unik, pakaian ikonik, dan sejarah panjang. Dari jalanan Liverpool sampai stasiun bawah tanah di Rotterdam, subkultur ini masih hidup, terus berkembang, dan tetap menarik.
Apa arti istilah ‘football casuals’?
Football casuals mengacu pada subkultur pendukung sepak bola yang mengekspresikan kecintaan mereka terhadap pertandingan bukan lewat nyanyian atau spanduk, tapi lewat pakaian bergaya mahal dan elegan. Berasal dari Inggris pada akhir tahun 1970-an, istilah “casuals” digunakan untuk menggambarkan fans yang sengaja tidak memakai warna atau jersey klub. Sebagai gantinya, mereka memilih brand premium seperti Stone Island, Lacoste, dan Fred Perry agar tetap “low profile” dan tidak menarik perhatian polisi saat datang ke stadion. Selama dekade berikutnya, gaya ini berkembang jadi gerakan fashion yang mewakili identitas, eksklusivitas, dan loyalitas terhadap klub dan komunitas.
Brand apa saja yang paling identik dengan football casuals?
Ada beberapa brand desainer yang sudah jadi identik dengan gaya football casuals. Yang paling ikonik tentu Stone Island, dengan patch kompas khas dan jaket outdoor berkualitas tinggi. Brand penting lainnya termasuk C.P. Company dengan jaket goggles-nya, polo dari Fred Perry, sneakers adidas Spezial, dan brand Inggris seperti Burberry dan Aquascutum. Dalam perkembangannya, brand streetwear dan outdoor seperti The North Face, MA.STRUM, dan Norse Projects juga masuk ke dalam scene ini. Kuncinya: pakaiannya harus stylish, fungsional untuk hari pertandingan, dan terasa eksklusif.
Apakah fashion football casual hanya untuk fans sepak bola?
Walaupun gaya ini punya akar kuat di dunia sepak bola, sekarang fashion casuals sudah menyebar ke luar stadion. Banyak orang pakai gaya ini walau nggak pernah nonton pertandingan langsung. Tapi dalam subkultur ini, keaslian masih penting. Casual sejati biasanya punya koneksi bertahun-tahun dengan dunia sepak bola dan gaya hidupnya. Meski begitu, crossover ke fashion mainstream justru bikin gaya ini hidup kembali, dan banyak desainer serta influencer mengadopsi elemen-elemen dari wardrobe casuals ke streetwear sehari-hari.
Apakah football casuals terkait dengan hooliganisme?
Secara historis, memang ada kaitan antara casuals dan kelompok hooligan di Inggris. Di tahun 70-an dan 80-an, pakaian desainer jadi taktik buat menghindari perhatian polisi, yang waktu itu cuma fokus ke fans yang pakai jersey klub atau jaket bomber khas hooligan. Tapi sekarang, scene casuals jauh lebih luas dan berfokus pada fashion. Meskipun akar kekerasan dan teritorial nggak bisa diabaikan, kebanyakan casuals masa kini lebih tertarik pada sisi budaya, estetika, dan sosial daripada konfrontasi.
Bagaimana cara berpakaian ala football casual?
Untuk tampil seperti football casual, fokuslah pada item klasik dengan heritage dan pengakuan brand. Mulai dari jaket Stone Island berwarna netral—lebih baik kalau patch kompasnya masih terpasang. Padukan dengan jeans slim-fit, sneakers adidas seperti Samba, Gazelle, atau Spezial, dan polo atau sweater ringan dari Fred Perry atau C.P. Company. Layering penting, dan pastikan outfit kamu clean dan terkoordinasi. Hindari warna mencolok atau logo besar. Casuals bangga dengan gaya yang kalem tapi tetap kasih sinyal kuat buat yang paham.
Kenapa ada casuals yang melepas patch Stone Island?
Patch kompas dari Stone Island adalah salah satu simbol paling dikenal di dunia football casuals. Tapi, karena brand ini makin populer di kalangan umum dan dipakai oleh non-fans bola atau selebriti, sebagian casual sejati mulai mencopot patch-nya demi menjaga eksklusivitas. Buat mereka, logo kompas udah terlalu umum dan mainstream. Dengan tetap memakai bajunya tapi tanpa logo, mereka bisa tetap menunjukkan kualitas dan gaya brand-nya, sambil secara halus kasih sinyal bahwa mereka punya koneksi lebih dalam ke subkultur ini.